Di antara kaum shalih ada yang bertutur, "Di samping rumahku hidup seorang nenek dengan seorang anak lelaki yang nampak memaksakan diri untuk beribadah.
Ketika ajal menghampiri anak lelaki tersebut, ia berkata, 'Wahai ibu, telungkupkanlah pipiku di atas tanah.' Lalu sang ibu melakukannya. Kemudian anak lelaki itu menangis dan menghiba diri.
Ketika ia benar-benar di ambang kematian, ia berkata, 'Wahai ibu, Demi Allah, sekiranya aku mati, janganlah ibu memberitahu seorang pun tentang kematianku. Kuburkanlah aku di salah satu pojok rumah ini saja, sebab selama ini aku senantiasa menyakiti tetanggaku yang masih hidup sementara aku tidak ingin menyakiti tetanggaku yang telah mati.' Maka sang ibu melakukan apa yang diperintahkan anak kepada ibunya, dan ia pun dikuburkan di pojok rumahnya.
Pada suatu malam, sang ibu memimpikan anaknya, ia berada di salah satu taman yang sangat indah, di sebuah istana megah, di antara kedua matanya terdapat tulisan dari cahaya, berbunyi, 'Inilah seorang hamba Allah yang mengakui dosanya lalu bertaubat.' Sang ibu berkata, 'Berhentilah nak,' sang ibu melanjutkan bertanya, 'Wahai anakku, Mengapa engkau dapat memperoleh posisi setinggi ini?'
Sang anak menjawab, 'Wahai Ibu, ketika aku telah meninggal, Dzat Yang Mahabenar memanggilku di hadapanNya dan berfirman kepadaku, 'Wahai hambaKu, sikapmu untuk menjauhi manusia sebenarnya membuat mereka marah kepadamu, sehingga mereka menutup pintu kasih sayang untukmu. Seakan ampunanKu penuh sesak oleh dosa-dosamu, seakan gudang kekuasaanKu memerlukan amal kebaikan darimu. Namun Aku telah memberi rahmat kepadamu karena rasa butuhmu terhadap ampunan dariKu, karena sikap penghamba-anmu kepadaKu dan kekhusyu’anmu, silahkan melangkah, Aku telah mengampuni dosamu'." (Al-Mawa’izh wa Al-Majalis, 235.)
Di antara kaum shalih ada yang bertutur, "Di samping rumahku hidup seorang nenek dengan seorang anak lelaki yang nampak memaksakan diri untuk beribadah.
Ketika ajal menghampiri anak lelaki tersebut, ia berkata, 'Wahai ibu, telungkupkanlah pipiku di atas tanah.' Lalu sang ibu melakukannya. Kemudian anak lelaki itu menangis dan menghiba diri.
Ketika ia benar-benar di ambang kematian, ia berkata, 'Wahai ibu, Demi Allah, sekiranya aku mati, janganlah ibu memberitahu seorang pun tentang kematianku. Kuburkanlah aku di salah satu pojok rumah ini saja, sebab selama ini aku senantiasa menyakiti tetanggaku yang masih hidup sementara aku tidak ingin menyakiti tetanggaku yang telah mati.' Maka sang ibu melakukan apa yang diperintahkan anak kepada ibunya, dan ia pun dikuburkan di pojok rumahnya.
Pada suatu malam, sang ibu memimpikan anaknya, ia berada di salah satu taman yang sangat indah, di sebuah istana megah, di antara kedua matanya terdapat tulisan dari cahaya, berbunyi, 'Inilah seorang hamba Allah yang mengakui dosanya lalu bertaubat.' Sang ibu berkata, 'Berhentilah nak,' sang ibu melanjutkan bertanya, 'Wahai anakku, Mengapa engkau dapat memperoleh posisi setinggi ini?'
Sang anak menjawab, 'Wahai Ibu, ketika aku telah meninggal, Dzat Yang Mahabenar memanggilku di hadapanNya dan berfirman kepadaku, 'Wahai hambaKu, sikapmu untuk menjauhi manusia sebenarnya membuat mereka marah kepadamu, sehingga mereka menutup pintu kasih sayang untukmu. Seakan ampunanKu penuh sesak oleh dosa-dosamu, seakan gudang kekuasaanKu memerlukan amal kebaikan darimu. Namun Aku telah memberi rahmat kepadamu karena rasa butuhmu terhadap ampunan dariKu, karena sikap penghamba-anmu kepadaKu dan kekhusyu’anmu, silahkan melangkah, Aku telah mengampuni dosamu'." (Al-Mawa’izh wa Al-Majalis, 235.)