Selasa, 10 Februari 2015

Sayyed Hossein Nasr

Dewasa ini, Filsafat merupakan kata majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia dan philosophos[1]. Yang dimaksudkan disini adalah dalam arti seluas-luasnya, yaitu ingin dan dengan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang diinginkan.[2]
Kemudian, orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa arab menjadi falsafa, fa’ala dan fi’lal.  Karena itu kata benda dari kata kerja falsafa seharusnyafalsafah atau fisfat.[3]
Dalam filsafat islam banyak sekali tokoh-tokoh yang mencuatkan pemikirannya. Salah satunya adalah Seyyed Hussein Nasr. Lebih dari 50 buku dan 500 artikel yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, Seyyed Hossein Nasr memberikan pandangan bahwa, krisis-krisis eksistensial ataupun spritual yang dialami oleh manusia adalah bermula dari pemberontakan manusia modern kepada Tuhan. Yaitu ketika manusia meninggalkan Tuhan demi mengukuhkan eksistensi dirinya. Manusia telah bergerak dari pusat eksistensinya sendiri menuju wilayah pinggiran eksistensi.[4]
Fenomena ini tidak saja dialami oleh dunia Barat tapi juga di dunia Timur secara umum dan dunia Islam secara khususnya juga telah melakukan kesalahan-kesalahan dengan mengulangi apa yang telah dilakukan Barat.[5]
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menguraikan berbagai bentuk pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas agar kita bisa lebih mendalami pemikirannya khususnya pada bidang Islamisasinya.
  PEMBAHASAN
1.    Kehidupan
Sayyid Husein Nasr lahir di Teheran, Iran, 7 April 1933. Dari keluarga terpelajar. Ayahnya, Sayed Waliyullah Nasr adalah dokter dan pendidik pada dinasti Qajar, kemudian diangkat sebagai pejabat setingkat menteri pada dinasti Reza Syah. Pendidikan awalnya dijalani di Teheran ditambah dari orang tuanya secara ketat, kemudian di Qum dalam bidang al-Qur’an, syair-syair Persia Klasik dan Sufisme.
Nasr kemudian melanjutkan pendidikan di Massachusetts Institute of Technologi (MIT), AS dan meraih gelar B.Sc dalam bidang fisika dan matematika teoritis pada tahun 1954 dan seterusnya meraih MSc dalam bidang geologi dan geofisika dari Harvard. Namun, pada jenjang berikutnya, Nasr lebih tertarik pada filsafat sehingga meraih gelar Ph.D dari Harvard tahun 1958, dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat dengan desertasi berjudul An Introduction to Islamic Cosmological Doctrine dibawah promoter HAR. Gibb. Selama menempuh pendidikan di Amerika, khususnya di Harvard, Nasr banyak mengenal pemikiran tokoh filsafat Timur, seperti Gibb, Massignon, Henry Corbin, Titus Burckhardt dan Schoun. [6]
Setelah itu, tahun 1958, Nasr pulang ke Iran. Disini ia lebih banyak mendalami filsafat Timur dan filsafat tradisional dengan banyak berdiskusi bersama para tokoh terkemuka agama Iran, seperti Thabathabai, Abu Hasan al-Qazwini dan Kaziz Asar. Dalam kegiatan akademik, Nasr mengajar di Universitas Teheran, menjadi dekan fakultas Sastra pada lembaga yang sama tahun 1968-1972, dan tahun 1975-1979 menjadi direkturImperial Iranian Academy of Phylosophy, sebuah lembaga yang didirikan dinasti Syah Reza Pahlevi, untuk memajukan pendidikan dan kajian filsafat.[7] Nasr berhasil dalam tugas ini sehingga diberi gelar kebangsawaan oleh Syah.
Kredibilitas Nasr sebagai intelektual dan akademisi, tidak hanya dikenal dinegaranya sendiri tetapi juga diakui di negeri lain, sehingga sering diundang seminar atau kuliah diluar negeri. Antara lain, member kuliah tamu di Harvard, Amerika tahun 1962-1965; di Universitas Amerika di Beirut tahun 1964-1965, menjadi direktur dilembaga Aga Khan untuk kajian islami pada universitas yang sama. Nasr juga memberikan makalah pada Pakistan Philosophical Congress, di Pakistan tahun 1964. Memberikan kuliah di Universitas Chicago, tahun 1966 atas sponsor Rockefeller Lectures, lembaga yang didirikan oleh Universitas Edinburg tahun 1889.
Selain itu, tahun 1967, Nasr bersama Muthahhari juga bergabung dengan Husainiyah Irsyad, sebuah organisasi atas prakarsa Ali Syariati, Nasr dan Muthahhari akhirnya mengundurkan diri dari organisasi tersebut. Masalahnya, menurut Nasr, Ali Syariati telah membawa faham liberation theology dari Marxisme dan Barat ke dalam Islam, berupaya menyajikan Islam sebagai kekuatan revolusioner dengan mengorbankan dimensi kerohanian islam, sering melancarkan kritik terhadap ulama tradisional, dan menyalahkan lembaga itu untuk kepentingan politik.
2.    Karya
Nasr banyak menghasilkan karya tulis. Antara lain, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Desertasi, London, Thames and Hudson Ltd, 1978); Ideals and Realities of Islam (London, George Allen& Unwim Ltd, 1966), Islamic Studies, Essays on Law and Society, The Sciences, and Phylosophy and Sufisme (Beirut, Librairie Du Liban Press, 1967); The Encounter of Man and Nature, the Spiritual Crisis of Man and Nature (London, George Allen & Unwim Ltd, 1968), berisi meteri perkuliahan di The University of Chichago, bulan Mei 1966; Science and Civilization in Islam (Harvard, Harvard University Press, 1968), berisi tentang berbagai hal dari perspektif islam; Sufi Essays (London, George Allen &Unwim Ltd, 1972) berisi kumpulan artikel tentang sufi dan sufisme yang tersebar dalam berbagai jurnal ilmiah; Islam and The Plight of Modern Man(London, Longman Press, 1975); Knowledge and The Sacred (Edinburg, Edinburg University Press, 1981) berisi obsesi Nasr membangun filsafat berlandaskan tradisi universal yang berlaku sepanjang zaman.[8]
Selain itu beberapa karya yang penting seperti Living Sufism, The Trancendent Theosophy of Sadr al-Din Shirazi, Islamic Life and Thought, World Spiritually (Theology, Philosophy, and Spiritually, Three Muslim Sages) dan yang lainnya.[9]
Nasr juga aktif menulis untuk jurnal-jurnal ilmiah di berbagai Negara, antara lain, Journal Milla wa Milla (Melbourne, Australia), Journal Iran (terbit di London), Studies in Comparative Religion (London, Inggris), Religion Studies (Cambridge, Inggris), The Islamic Quartelly (London, Inggris), Hamdard Islamicus dan Word Spiritually.
3.        Garis Besar Pemikiran Tokoh
Salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi Nasr adalah Rene Guenon.[10] Rene Guenon merupakan salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi orientasi tradisionalisme Nasr. Mengenai spritualisme islam, sayyed hossein nasr menyoroti keadaan umat islam secara umum terutama yang menyangkut asas hidup peradaban islam itu sendiri. Menurut Nasr, saat proses pembaratan terhadap umat islam sudah mengalami titik puncak dalam hal-hal tertentu, beberapa bagian dimensi kehidupan, terutama tentang moral, politik, ekonomi dan sains mengalami westernisasi yang luar biasa. Indikasi lewat jaringan IPTEK, maka segala pembaratan itu menyebar dengan cepat.
Menurut Azra, pemikiran Nasr bisa dimasukan ke dalam beberapa model berfikir yaitu posmodernis, neo-modernis, atau neo-sufisme.[11] Nasr salah satu penyuara anti modernisme Islam yang ada di Barat yang juga seorang ahli sain modern yang berpendidikan Barat. Dari Timur ia mewarisi akar tradisi mistis dari Persia sebagai salah satu pusat tradisonalitas Islam, diajari bagaimana memaknai Islam dari lahir hingga batin berdasarkan akar pemikiran Syi’ah, disisi lain ia juga seorang ahli ilmu terapan yang dipelajarinya dari Barat modern. Sehingga juga tepat jika ia sebenarnya adalah seorang neo-tradisionalis .[12]
Untuk mewujudkan nilai spiritualitas islam secepatnya mengembalikan kepada kekuatan nilai-nilai islam yang sudah terbaratkan. Agama sebagai basis kekuatan moral sains sudah tidak mempunyai arti apa-apa. Sebab, islam saat ini yang bangkit bukan islam abad pertengahan, atau islam klasik, melainkan islam yang membawa nuansa baru dalam tatanan yang lebih komprehensif.[13]
Pemikiran Nasr tersebut jelas bahwa akar-akar peradaban islam yang dibangunnya tidak sepenuhnya terilhami barat. Ia menitikberatkan segi-segi subtansial dari makna islam termasuk ketika mengambil ilmu pengetahuan barat, sangat diperlukan suatu sikap islami.[14] Nasr lebih mengupayakan suatu pendekatan baru terhadap islam tanpa meninggalkan dunia batin. Sehingga umat islam akan seimbang antara batin dan lahiriahnya.
Pemikiran nasr di bidang lainnya adalah pemikirannya dalam bidang metafisika, karena beliau dipengaruhi oleh pemikiran Geogio De Santillana .Dari kedua ini Nasr banyak mendapat informasi dan pengetahuan tentang filsafat Timur, Khususnya yang berhubungan dengan metafisika. Dia diperkenalkan dengan tradisi keberagamaan di Timur.
·      Agama
Untuk memahami tradisi secara lebih baik, maka perlu adanya pembahasan tentang hubungan tradisi dengan agama. Agama (religion), juga memiliki akar yang hampir sama, yaitu "mengikat" (dari bahasa Latin religere). "Religio" adalah pengikat (Religat) antara manusia dan langit dengan melibatkan keseluruhan wujudnya; sementara" traditio” berkaitan dengan realitas.[15] Jadi agama merupakan pengikat antara manusia dengan Tuhan sekaligus juga antara manusia dengan manusia dalam sebuah komunitas sakral, yang oleh muslim disebut ummah. Sedangkan dalam pengertian universal, tradisi dapat juga dianggap mencakup prinsip-prinsip yang mengikat manusia  dengan langit, yaitu agama[16]. Pada arti itulah dapat dipahami bahwa agama dapat dikatakan sebagai asal usul tradisi. Sebagai suatu yang berasal dari langit melalui wahyu, memunculkan prinsip-prinsip tertentu, yang aplikasinya dapat dianggap sebagai atau berupa tradisi. Sehingga agama cakupannya lebih luas dari pada tradisi karena agama merupakan asal dari tradisi.
Adapun agama secara objektif mengandalkan adanya realitas suprim yang bersifat personal, yaitu yang memiliki kehendak dan kemampuan mewahyukan keberadaan kepada manusia, serta memiliki wewenang dan kebebasan. Sedang secara subjek, agama mengandalkan adanya kemampuan manusia untuk menerima kebenaran yang diwahyukan, yaitu adanya iman.[17]
·      Orthodoksi
Tradisi akan selalu mengimplikasikan adanya ortodoksi, bahkan lebih dari itu, ortodoksi tidak dapat dipisahkan dari keduanya.[18] Nasr menyatakan bahwa ortodoksi merupakan kriteria utama penilaian tradisional atau tidak suatu ajaran didasarkan atas pandangannya bahwa tidak ada tradisi tanpa ortodoksi serta tidak ada kemungkinan ortodoksi di luar tradisi. Ajaran dapat dikatakan tradisional apabila menyiratkan kebenaran yang kudus, yang langgeng, serta penerapan bersinambungan (prinsip-prinsipnya) yang langgeng terhadap berbagai situasi ruang dan waktu. Atas dasar ini para tradisionalis menerima wahyu (kalam Tuhan) baik kandungan maupun bentuknya sebagai permulaan duniawi kalam abadi Tuhan yang tercipta tanpa asal-usul temporal. Disamping itu, mereka mempertahankan, meminjam istilah Islam- Syari'ah sebagai hukum Tuhan. Namun mereka menerima kemungkinan meberikan pandangan-pandangan berdasarkan prinsip-prinsip legal (Ijtihad).[19]
C.  PEMIKIRAN FILSAFAT
Pemikiran yang sangat mempengaruhi Nasr adalah pandangan filsafat perennial.[20]Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon seorang perenialis sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan esoterik Islam.[21] Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and Perennial Philoshopy. Sehingga Nasr memberikan gelar padanya sebagai My Master.
Yang dimaksud Nasr dengan filsafat perennial adalah kearifan tradisional dalam Islam. Pikiran-pikiran Nasr disekitar ini muncul sebagai reaksi terhadap apa yang dilihatnya sebagai krisis manusia modern. Peradaban modern khususnya di Barat dan ditumbuh kembangkan di dunia Islam menurut Nasr telah gagal mencapai tujuannya, yakni semakin terduksinya integritas kemanusiaan.
Nasr menjelaskan : Manusia modern telah lupa siapakah ia sesungguhnya. Karena manusia modern hidup di pinggir lingkaran eksistensinya; ia hanya mampu memperoleh pengetahuan tentang dunia yang secara kualitatif bersifat dangkal dan secara kuantitatif berubah-ubah. Dari pengetahuan yang hanya bersifat eksterbal ini, selanjutnya ia berupaya merekonstruksi citra diri. Dengan begitu manusia modenr semakin jauh dari pusat eksistensi, dan semakin terperosok dalam jeratan pinggir eksistensi. [22]
Dengan demikian, filsafat perennial Seyyed Hossein Nasr adalah respon yang dimunculkannya setelah melihat dengan seksama krisis manusia modern. Karenanya topik yang paling menonjol dari pemikiran filsafatnya adalah tentang pembebasan manusia modern dari perangkap dan keterpasungna budaya dan peradaban yang diciptikan manusia sendiri. Topik ini terangkum dalam apa yang disebutnya sebagai sufisme atau aliran tradisional.
1.        Pembelaan Nasr terhadap Sufisme
Nasr berpandangan amat postif tentang peranan sufisme dalam sejarah Islam. Dicontohkannya, vitalitas keagamaan yang dimiliki pribadi ulama klasik yang refleksinya tampak pada karya-karya besar mereka merupkana pengejawantahan kedalaman penghayatan mereka terhadap nilai-nilai esoterik Islam. Bahkan dalam penyebaran agama Islam khususnya di India, Asia Tenggara dan Afrika selalu diawalai oleh keteladanan pribadi sufi, pemimpin tarekat, kemudian diikuti penataan syari’at. Oleh karena itu, menurut Nasr, sufisme tidak bisa dijadikan kambing hitam atas segala penyakit yang ada dalam masyarakat Islam.
Kemunduran umat Islam menurut Nasr, justru antara lain disebabkan penghancuran tarekat sufi oleh bentuk-bentuk baru rasional puritan seperti Wahabisme di Arabia dan Ahl al-Hadis di India. Akibatnya menurut Nasr, dengan menolak sufisme dan mengkambing hitamkannnya sebagai penyebab kemunduran umat, Islam direduksi sampai tinggal doktrin fiqh yang kaku, yang pada gilirannya tidak berdaya menghadapi serangan bertubi-tubi intelektual Barat.
Bagi Nasr, sufisme ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh. Dalam Islam, sufisme merupakan jantung (the heart) dari pewahyuan Islam. Sufisme telah menghidupkan semangatnya ke dalam struktur Islam, baik dalam manifestasi sosial dan intelektual. Tarekat-tarekat Sufi, sebagai institusi terorganisasi dalam matriks yang lebih besar masyarakat itu juga, ada kelompok sekunder yang berfasilitas dengan tarekat, seperti kelompok, bahwa berabgai isu dalam sejarah Islam tidak akan bisa dipecahkan tanpa memperhitungkan peran yag dimainkan sufisme.
2.        Sufisme sebagai alternative pembebasan manusia modern.
Sebagai dijelaskan diatas bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghantarkan manusia modern ke jurusan hakikatnya yang nista. Mereka mengalami kekeringan batin yang memerlukanupaya mendesak untuk penyembuhannya.Nasr menegaskan, lebih awal perlu dipahami bahwa sufisme dalam Islam berbda dengan sufise pada agama lain. Oleh karena itu, sufisme dalam Islam harus dipahami melalui sumbernya yakni al-Qur’an dan Hadis/pola hidup Nabi Muhammad SAW, dan seseorang tidak bisa masuk ke jalur tarbiyah- metode pendakian spritual yang khusus bagi sufi-sebelum memasuki lingkaran syari’at.
Pada masyarakat modern-khususnya di Barat sufisme dapat mempengaruhi masyarakat pad tiga tataran:
Pertama: kemungkinan mempraktikan sufisme secara aktif. Cara ini kata Nasr hanya untuk segelintir orang saja, karena mensyaratkan penyerahan mutlak kepada disiplin tasauf. Pada tataran ini, orang harus mengikuti Hadis Nabi:”Matilah kamu sebelum engkau kamu Mati”. Maksudnya, orang harus ”mematikan” diri sebelum dilahirkan kembali secara spritual. Pada tahap ini orang harus membatasi kesenangan terhadao dunia materi dan kemudian mengarahkan hidupnya untuk bermeditasi, berdoa, mensucikan batin, mengkaji hati nurani, dan melakukan praktik-praktik ibadah lain seperti yang lazim dilakukan para sufi.
Kedua, sufisme mungkin sekali dapat mempengaruhi masyarakat modern dengan cara menyajikan Islam dalam bentuk yang lebih menarik, sehingga orang dapat menemukan praktik-praktik sufisme yang benar. Intinya adalah sajian Islam yang mengintegral antara aspek spritual Islam dengan sufisem sebagai esensinya. Dengan aktifitas duniawi yang profan. Dengan begitu, sufisme Islam membuka  peluang lebih besar bagi pencarian spritual barat yang tengah dilanda krisis makna hidup.
Ketiga, menfungsikan sufisme sebagai alat bantu untuk recollection (mengingatkan) atau reawakening (membangunkan) orang Barat dari tidurnya. Karena sufisme merupakan tradisi yang hidup dan kaya dengan doktrin-doktrin metafisis, kosmologis, sebuah psikologi dan psiko-terapi religius yang hampir tak pernah dipelajari di Barat, maka ia dapat menghidupkan kembali bergerak aspek kehidupan rohani Barat yang selama ini tercampakkan dan terlupakan.
Pemenuhan aspek batini/spritual ini- sebagai berulang kali dinyatakan Nasr- sangat mendesak bagi masyarakat modern. Memang secara fitrati tak mungkin diingkari, karena manusia memiliki dimensi rohani. Oleh karena itulah Nasr mengatakan bahwa pencarian spritual dan mistikal bersifat prennial, yakni suatu kewajaran yang natural dalam kehidupan individu dan kolektif manusia. Ketika masyarakat manusia berhenti mengakui kebutuhan yang natural (fitrati) ini, maka pada saat itu pula masyarakat tersebut ambruk ditimpa beban berat strukturnya.[23]
D.      KESIMPULAN
Sayyed Hossein Nasr adalah seorang intelektual dan akademisi yang luar biasa. Sudah banyak karya-karya yang beliau ciptakan, mulai dari essay sampai buku-buku. Beliaupun mempunyai garis besar pemikiran yang beragam,  diantaranya tentang spiritualisme islam, saat pembaratan terhadap umat islam sudah mengalami titik puncak pada hal tertentu, beberapa dimensi kehidupannya mengalami westernisasi. Lainnya dalam bidang metafisika yang dipengaruhi oleh George De Santillana. Sedangkan pemikiran beliau tentang agama adalah bahwa agama secara objektif yaitu mengandalkan adanya realitas suprim yang personal, sedangkan agama dipandang secara subjektif ialah agama mengandalkan adanya kemampuan manusia untuk menerima kebenaran yang diwahyukan.
Dalam pemikiran filsafat, beliau memberikan pandangan pada filsafat perennial. Yang dimaksud Nasr dengan filsafat perennial adalah kearifan tradisional dalam Islam. Pikiran-pikiran Nasr disekitar ini muncul sebagai reaksi terhadap apa yang dilihatnya sebagai krisis manusia modern. Peradaban modern khususnya di Barat dan ditumbuh kembangkan di dunia Islam menurut Nasr telah gagal mencapai tujuannya, yakni semakin terduksinya integritas kemanusiaan. Dengan demikian, filsafat perennial Seyyed Hossein Nasr adalah respon yang dimunculkannya setelah melihat dengan seksama krisis manusia modern.

DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azumardi. “Memperkenalkan Pemikiran Hossein Nasr”, dalam Seminar Sehari: Spiritualitas, Krisis Dunia Modern dan Agama Masa Depan. Jakarta: Paramadina. 1993.
Bertens, K.. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. 1984. Cet. IV.
Nasr, Seyyed Hossein. Islam dan Nestapa Manusia Modern. Bandung: Penerbit Pustaka. 1983.
__________________. Knowledge and the Sacred. Pakistan: Suhail Academy,  Lahore. 1988.
__________________. Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man. London: Mandala Books. 1976.
__________________.  Spiritualitas dan Seni dalam Islam. Bandung: Mizan. 1993.
__________________. Islam dalam Cita dan Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid dan Hashim Wahid. Jakarta: PT Panca Gemilang Indah. 1983.
_________________. Islam Tradisi di Tengah Kancah Manusia Modern. Terj Lukman Hakim. Bandung: Pustaka. 1994.
_________________. Knowledge and The Sacred. Pakistan: Suhail Academy. Lahore. 1988.
_________________. Menjelajah Dunia Modern. Jakarta: Mizan. 1994.
_________________. Traditional Islam in The Modern Word. London: Worts-Power Associates. 1987.
Nasution, Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1973. Cet. I.
Nasution, Harun. Perkembangan Modern dalam Islam. PT Midas Surya Grafindo. 1985.
Permata, Ahmad Norma. Perennialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1996
Sani, Abdul. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1998.
Soleh, A. Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Taufik, Akhmad. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2004

[1] K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. 1984. Cet. IV. Hal 13
[2] Sirajuddin Zar. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2004. Hal 2-3.
[3] Harun Nasution. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1973. Cet. I. hal 7.
[4] Seyyed Hossein Nasr. Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man. London: Mandala Books. 1976. Hal. 63.
[5] Seyyed Hossein Nasr. Islam dan Nestapa Manusia Modern. Bandung: Penerbit Pustaka. 1983. Hal. 20.
[6] A. Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Hal 317
[7] Lembaga ini merupakan kelanjutan dari Institut Franco-Iranien yang didirikan pada tahun 1946 di Teheran. Lembaga ini merupakan departemen pengkajian tentang keiranan yang didirikan oleh departemen perhubungan dan jebudayaan Perancis dengan tujuan awalnya memulai serangkaian publikasi teks kepada dunia islam kontemporer dan barat.
[8] A. Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Hal 320
[9] Abdul Sani. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1998. Hal 281.
[10] Pemikir ini banyak memberikan kontribusi mengenai pandangan-pandangan metafisis dalam filsafat perenial, yang berisi kritik atas filsafat Barat modern. Dan yang paling urgen adalah dia juga seorang tokoh utama dalam perspektif tradisional di dunia modern yang banyak berbicara tentang makna tradis.
[11]Azumardi Azra, “Memperkenalkan Pemikiran Hossein Nasr”, dalam Seminar Sehari: Spiritualitas, Krisis Dunia Modern dan Agama Masa Depan (Jakarta: Paramadina, 1993), h. 35.
[12] Kata neo berarti baru diantara disionalis berarti penyokong aliran tradisionalisme. Jadi dapat dikatakan bahwa neo-tradisionalis adalah seorang yang menganut tradisinalisme berpikir model baru; atau pembaharu tradisionalisme Islam. Lihat Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arkola. Hal. 517, 756.
[13] Sayyed Hossein Nasr. Spiritualitas dan Seni dalam Islam. Bandung: Mizan. 1993. Hal 58-59.
[14] Akhmad Taufik. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005. Hal 214.
[15] Sayyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. Pakistan: Suhail Academy, Lahore, 1988. Hal. 73.
[16] Ahmad Norma Permata. Perennialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1996. Hal 146
[17] Seyyed Hossein Nasr. Islam dalam Cita dan Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid dan Hashim Wahid. Jakarta: PT Panca Gemilang Indah. 1983. Hal 10.
[18] Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and The Sacred. Pakistan: Suhail Academy. Lahore. 1988. Hal 88
[19] Seyyed Hossein Nasr. Traditional Islam in The Modern Word. London: Worts-Power Associates. 1987. Hal 4-5.
[20] Filsafat perennial adalah nama lain dari metafisika Islam sebagaimana dipahami Nasr.
[21] Nasr banyak merujuk pemahaman tentang esoteris dan eksoteris Islam dari buku Frithjof Schuon
berjudul Understanding Islam yang diterjemahkan dari bahasa aslinya berbahasa Perancis berjudul Comprendre I’Islam oleh D.M. Matheson. Pertama kali diterbitkan oleh Gallimard tahun 1961.
[22] Seyyed Hossein Nasr. Islam Tradisi di Tengah Kancah Manusia Modern. Terj Lukman Hakim. Bandung: Pustaka. 1994. Hal 37.
[23] Sayyed Hossein Nasr. Menjelajah Dunia Modern. Jakarta: Mizan. 1994. Hal 37-39.

Mereka yang Jadi Saksi Awal Mula Lantunan Adzan

Ketika itu, saat sudah masuk waktunya, umat tanpa dipanggil sudah berkumpul untuk menunaikan sholat. Namun ketika sudah hijrah ke M...