Dewasa ini, Filsafat merupakan kata majemuk yang berasal dari bahasa
Yunani, yakni philosophia dan philosophos[1].
Yang dimaksudkan disini adalah dalam arti seluas-luasnya, yaitu ingin dan
dengan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang
diinginkan.[2]
Kemudian, orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa
arab menjadi falsafa, fa’ala dan fi’lal. Karena itu kata
benda dari kata kerja falsafa seharusnyafalsafah atau fisfat.[3]
Dalam filsafat islam banyak sekali tokoh-tokoh yang mencuatkan
pemikirannya. Salah satunya adalah Seyyed Hussein Nasr. Lebih dari 50 buku dan
500 artikel yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, Seyyed
Hossein Nasr memberikan pandangan bahwa, krisis-krisis eksistensial ataupun
spritual yang dialami oleh manusia adalah bermula dari pemberontakan manusia
modern kepada Tuhan. Yaitu ketika manusia meninggalkan Tuhan demi mengukuhkan
eksistensi dirinya. Manusia telah bergerak dari pusat eksistensinya sendiri
menuju wilayah pinggiran eksistensi.[4]
Fenomena ini tidak saja dialami oleh dunia Barat tapi juga di dunia
Timur secara umum dan dunia Islam secara khususnya juga telah melakukan
kesalahan-kesalahan dengan mengulangi apa yang telah dilakukan Barat.[5]
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menguraikan berbagai bentuk
pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di
atas agar kita bisa lebih mendalami pemikirannya khususnya pada bidang
Islamisasinya.
PEMBAHASAN
1. Kehidupan
Sayyid Husein Nasr lahir di Teheran, Iran, 7 April 1933. Dari keluarga
terpelajar. Ayahnya, Sayed Waliyullah Nasr adalah dokter dan pendidik pada
dinasti Qajar, kemudian diangkat sebagai pejabat setingkat menteri pada dinasti
Reza Syah. Pendidikan awalnya dijalani di Teheran ditambah dari orang tuanya
secara ketat, kemudian di Qum dalam bidang al-Qur’an, syair-syair Persia Klasik
dan Sufisme.
Nasr kemudian melanjutkan pendidikan di Massachusetts Institute
of Technologi (MIT), AS dan meraih gelar B.Sc dalam bidang fisika dan
matematika teoritis pada tahun 1954 dan seterusnya meraih MSc dalam bidang
geologi dan geofisika dari Harvard. Namun, pada jenjang berikutnya, Nasr lebih
tertarik pada filsafat sehingga meraih gelar Ph.D dari Harvard tahun 1958,
dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat dengan desertasi berjudul An
Introduction to Islamic Cosmological Doctrine dibawah promoter HAR.
Gibb. Selama menempuh pendidikan di Amerika, khususnya di Harvard, Nasr banyak
mengenal pemikiran tokoh filsafat Timur, seperti Gibb, Massignon, Henry Corbin,
Titus Burckhardt dan Schoun. [6]
Setelah itu, tahun 1958, Nasr pulang ke Iran. Disini ia lebih banyak
mendalami filsafat Timur dan filsafat tradisional dengan banyak berdiskusi
bersama para tokoh terkemuka agama Iran, seperti Thabathabai, Abu Hasan
al-Qazwini dan Kaziz Asar. Dalam kegiatan akademik, Nasr mengajar di
Universitas Teheran, menjadi dekan fakultas Sastra pada lembaga yang sama tahun
1968-1972, dan tahun 1975-1979 menjadi direkturImperial Iranian Academy of
Phylosophy, sebuah lembaga yang didirikan dinasti Syah Reza Pahlevi, untuk
memajukan pendidikan dan kajian filsafat.[7] Nasr
berhasil dalam tugas ini sehingga diberi gelar kebangsawaan oleh Syah.
Kredibilitas Nasr sebagai intelektual dan akademisi, tidak hanya dikenal
dinegaranya sendiri tetapi juga diakui di negeri lain, sehingga sering diundang
seminar atau kuliah diluar negeri. Antara lain, member kuliah tamu di Harvard,
Amerika tahun 1962-1965; di Universitas Amerika di Beirut tahun 1964-1965,
menjadi direktur dilembaga Aga Khan untuk kajian islami pada universitas yang
sama. Nasr juga memberikan makalah pada Pakistan Philosophical Congress, di
Pakistan tahun 1964. Memberikan kuliah di Universitas Chicago, tahun 1966 atas
sponsor Rockefeller Lectures, lembaga yang didirikan oleh Universitas Edinburg
tahun 1889.
Selain itu, tahun 1967, Nasr bersama Muthahhari juga bergabung dengan
Husainiyah Irsyad, sebuah organisasi atas prakarsa Ali Syariati, Nasr dan
Muthahhari akhirnya mengundurkan diri dari organisasi tersebut. Masalahnya,
menurut Nasr, Ali Syariati telah membawa faham liberation theology dari
Marxisme dan Barat ke dalam Islam, berupaya menyajikan Islam sebagai kekuatan
revolusioner dengan mengorbankan dimensi kerohanian islam, sering melancarkan
kritik terhadap ulama tradisional, dan menyalahkan lembaga itu untuk
kepentingan politik.
2. Karya
Nasr banyak menghasilkan karya tulis. Antara lain, An
Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Desertasi, London,
Thames and Hudson Ltd, 1978); Ideals and Realities of Islam (London,
George Allen& Unwim Ltd, 1966), Islamic Studies, Essays on Law and
Society, The Sciences, and Phylosophy and Sufisme (Beirut, Librairie
Du Liban Press, 1967); The Encounter of Man and Nature, the Spiritual
Crisis of Man and Nature (London, George Allen & Unwim Ltd, 1968),
berisi meteri perkuliahan di The University of Chichago, bulan Mei 1966; Science
and Civilization in Islam (Harvard, Harvard University Press, 1968),
berisi tentang berbagai hal dari perspektif islam; Sufi Essays (London,
George Allen &Unwim Ltd, 1972) berisi kumpulan artikel tentang sufi dan
sufisme yang tersebar dalam berbagai jurnal ilmiah; Islam and The
Plight of Modern Man(London, Longman Press, 1975); Knowledge and
The Sacred (Edinburg, Edinburg University Press, 1981) berisi obsesi
Nasr membangun filsafat berlandaskan tradisi universal yang berlaku sepanjang
zaman.[8]
Selain itu beberapa karya yang penting seperti Living Sufism,
The Trancendent Theosophy of Sadr al-Din Shirazi, Islamic Life and Thought,
World Spiritually (Theology, Philosophy, and Spiritually, Three Muslim Sages)
dan yang lainnya.[9]
Nasr juga aktif menulis untuk jurnal-jurnal ilmiah di berbagai Negara,
antara lain, Journal Milla wa Milla (Melbourne, Australia),
Journal Iran (terbit di London), Studies in Comparative Religion (London,
Inggris), Religion Studies (Cambridge, Inggris), The
Islamic Quartelly (London, Inggris), Hamdard Islamicus dan
Word Spiritually.
3. Garis
Besar Pemikiran Tokoh
Salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi Nasr adalah Rene Guenon.[10] Rene
Guenon merupakan salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi orientasi
tradisionalisme Nasr. Mengenai spritualisme islam, sayyed hossein nasr
menyoroti keadaan umat islam secara umum terutama yang menyangkut asas hidup
peradaban islam itu sendiri. Menurut Nasr, saat proses pembaratan terhadap umat
islam sudah mengalami titik puncak dalam hal-hal tertentu, beberapa bagian
dimensi kehidupan, terutama tentang moral, politik, ekonomi dan sains mengalami
westernisasi yang luar biasa. Indikasi lewat jaringan IPTEK, maka segala
pembaratan itu menyebar dengan cepat.
Menurut Azra, pemikiran Nasr bisa dimasukan ke dalam beberapa model
berfikir yaitu posmodernis, neo-modernis, atau neo-sufisme.[11] Nasr
salah satu penyuara anti modernisme Islam yang ada di Barat yang juga seorang
ahli sain modern yang berpendidikan Barat. Dari Timur ia mewarisi akar tradisi
mistis dari Persia sebagai salah satu pusat tradisonalitas Islam, diajari
bagaimana memaknai Islam dari lahir hingga batin berdasarkan akar pemikiran
Syi’ah, disisi lain ia juga seorang ahli ilmu terapan yang dipelajarinya dari
Barat modern. Sehingga juga tepat jika ia sebenarnya adalah seorang
neo-tradisionalis .[12]
Untuk mewujudkan nilai spiritualitas islam secepatnya mengembalikan
kepada kekuatan nilai-nilai islam yang sudah terbaratkan. Agama sebagai basis
kekuatan moral sains sudah tidak mempunyai arti apa-apa. Sebab, islam saat ini
yang bangkit bukan islam abad pertengahan, atau islam klasik, melainkan islam
yang membawa nuansa baru dalam tatanan yang lebih komprehensif.[13]
Pemikiran Nasr tersebut jelas bahwa akar-akar peradaban islam yang
dibangunnya tidak sepenuhnya terilhami barat. Ia menitikberatkan segi-segi
subtansial dari makna islam termasuk ketika mengambil ilmu pengetahuan barat,
sangat diperlukan suatu sikap islami.[14] Nasr
lebih mengupayakan suatu pendekatan baru terhadap islam tanpa meninggalkan
dunia batin. Sehingga umat islam akan seimbang antara batin dan lahiriahnya.
Pemikiran nasr di bidang lainnya adalah pemikirannya dalam bidang
metafisika, karena beliau dipengaruhi oleh pemikiran Geogio De Santillana
.Dari kedua ini Nasr banyak mendapat informasi dan pengetahuan tentang filsafat
Timur, Khususnya yang berhubungan dengan metafisika. Dia diperkenalkan dengan
tradisi keberagamaan di Timur.
· Agama
Untuk memahami tradisi secara lebih baik, maka perlu adanya pembahasan
tentang hubungan tradisi dengan agama. Agama (religion), juga memiliki
akar yang hampir sama, yaitu "mengikat" (dari bahasa Latin religere).
"Religio" adalah pengikat (Religat) antara manusia dan
langit dengan melibatkan keseluruhan wujudnya; sementara" traditio”
berkaitan dengan realitas.[15] Jadi
agama merupakan pengikat antara manusia dengan Tuhan sekaligus juga antara
manusia dengan manusia dalam sebuah komunitas sakral, yang oleh muslim disebut
ummah. Sedangkan dalam pengertian universal, tradisi dapat juga dianggap
mencakup prinsip-prinsip yang mengikat manusia dengan langit, yaitu agama[16].
Pada arti itulah dapat dipahami bahwa agama dapat dikatakan sebagai asal usul
tradisi. Sebagai suatu yang berasal dari langit melalui wahyu, memunculkan prinsip-prinsip
tertentu, yang aplikasinya dapat dianggap sebagai atau berupa tradisi. Sehingga
agama cakupannya lebih luas dari pada tradisi karena agama merupakan asal dari
tradisi.
Adapun agama secara objektif mengandalkan adanya realitas suprim yang
bersifat personal, yaitu yang memiliki kehendak dan kemampuan mewahyukan
keberadaan kepada manusia, serta memiliki wewenang dan kebebasan. Sedang secara
subjek, agama mengandalkan adanya kemampuan manusia untuk menerima kebenaran
yang diwahyukan, yaitu adanya iman.[17]
· Orthodoksi
Tradisi akan selalu mengimplikasikan adanya ortodoksi, bahkan lebih dari
itu, ortodoksi tidak dapat dipisahkan dari keduanya.[18] Nasr
menyatakan bahwa ortodoksi merupakan kriteria utama penilaian tradisional atau
tidak suatu ajaran didasarkan atas pandangannya bahwa tidak ada tradisi tanpa
ortodoksi serta tidak ada kemungkinan ortodoksi di luar tradisi. Ajaran dapat
dikatakan tradisional apabila menyiratkan kebenaran yang kudus, yang langgeng,
serta penerapan bersinambungan (prinsip-prinsipnya) yang langgeng terhadap
berbagai situasi ruang dan waktu. Atas dasar ini para tradisionalis menerima
wahyu (kalam Tuhan) baik kandungan maupun bentuknya sebagai permulaan duniawi
kalam abadi Tuhan yang tercipta tanpa asal-usul temporal. Disamping itu, mereka
mempertahankan, meminjam istilah Islam- Syari'ah sebagai hukum Tuhan. Namun
mereka menerima kemungkinan meberikan pandangan-pandangan berdasarkan
prinsip-prinsip legal (Ijtihad).[19]
C. PEMIKIRAN FILSAFAT
Pemikiran yang sangat mempengaruhi Nasr adalah pandangan filsafat
perennial.[20]Diantara
para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon seorang perenialis
sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan esoterik Islam.[21] Nasr
sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and Perennial Philoshopy.
Sehingga Nasr memberikan gelar padanya sebagai My Master.
Yang dimaksud Nasr dengan filsafat perennial adalah kearifan tradisional
dalam Islam. Pikiran-pikiran Nasr disekitar ini muncul sebagai reaksi terhadap
apa yang dilihatnya sebagai krisis manusia modern. Peradaban modern khususnya
di Barat dan ditumbuh kembangkan di dunia Islam menurut Nasr telah gagal
mencapai tujuannya, yakni semakin terduksinya integritas kemanusiaan.
Nasr menjelaskan : Manusia modern telah lupa siapakah ia sesungguhnya.
Karena manusia modern hidup di pinggir lingkaran eksistensinya; ia hanya mampu
memperoleh pengetahuan tentang dunia yang secara kualitatif bersifat dangkal
dan secara kuantitatif berubah-ubah. Dari pengetahuan yang hanya bersifat
eksterbal ini, selanjutnya ia berupaya merekonstruksi citra diri. Dengan begitu
manusia modenr semakin jauh dari pusat eksistensi, dan semakin terperosok dalam
jeratan pinggir eksistensi. [22]
Dengan demikian, filsafat perennial Seyyed Hossein Nasr adalah respon
yang dimunculkannya setelah melihat dengan seksama krisis manusia modern.
Karenanya topik yang paling menonjol dari pemikiran filsafatnya adalah tentang
pembebasan manusia modern dari perangkap dan keterpasungna budaya dan peradaban
yang diciptikan manusia sendiri. Topik ini terangkum dalam apa yang disebutnya
sebagai sufisme atau aliran tradisional.
1. Pembelaan Nasr
terhadap Sufisme
Nasr berpandangan amat postif tentang peranan sufisme dalam sejarah Islam.
Dicontohkannya, vitalitas keagamaan yang dimiliki pribadi ulama klasik yang
refleksinya tampak pada karya-karya besar mereka merupkana pengejawantahan
kedalaman penghayatan mereka terhadap nilai-nilai esoterik Islam. Bahkan dalam
penyebaran agama Islam khususnya di India, Asia Tenggara dan Afrika selalu
diawalai oleh keteladanan pribadi sufi, pemimpin tarekat, kemudian diikuti
penataan syari’at. Oleh karena itu, menurut Nasr, sufisme tidak bisa dijadikan
kambing hitam atas segala penyakit yang ada dalam masyarakat Islam.
Kemunduran umat Islam menurut Nasr, justru antara lain disebabkan
penghancuran tarekat sufi oleh bentuk-bentuk baru rasional puritan seperti
Wahabisme di Arabia dan Ahl al-Hadis di India. Akibatnya menurut Nasr, dengan
menolak sufisme dan mengkambing hitamkannnya sebagai penyebab kemunduran umat,
Islam direduksi sampai tinggal doktrin fiqh yang kaku, yang pada
gilirannya tidak berdaya menghadapi serangan bertubi-tubi intelektual Barat.
Bagi Nasr, sufisme ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh. Dalam Islam,
sufisme merupakan jantung (the heart) dari pewahyuan Islam. Sufisme
telah menghidupkan semangatnya ke dalam struktur Islam, baik dalam manifestasi
sosial dan intelektual. Tarekat-tarekat Sufi, sebagai institusi terorganisasi
dalam matriks yang lebih besar masyarakat itu juga, ada kelompok sekunder yang
berfasilitas dengan tarekat, seperti kelompok, bahwa berabgai isu dalam sejarah
Islam tidak akan bisa dipecahkan tanpa memperhitungkan peran yag dimainkan
sufisme.
2. Sufisme sebagai alternative
pembebasan manusia modern.
Sebagai dijelaskan diatas bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah menghantarkan manusia modern ke jurusan hakikatnya yang nista. Mereka
mengalami kekeringan batin yang memerlukanupaya mendesak untuk penyembuhannya.Nasr
menegaskan, lebih awal perlu dipahami bahwa sufisme dalam Islam berbda dengan
sufise pada agama lain. Oleh karena itu, sufisme dalam Islam harus dipahami
melalui sumbernya yakni al-Qur’an dan Hadis/pola hidup Nabi Muhammad SAW, dan
seseorang tidak bisa masuk ke jalur tarbiyah- metode pendakian
spritual yang khusus bagi sufi-sebelum memasuki lingkaran syari’at.
Pada masyarakat modern-khususnya di Barat sufisme dapat mempengaruhi
masyarakat pad tiga tataran:
Pertama: kemungkinan mempraktikan sufisme secara aktif. Cara
ini kata Nasr hanya untuk segelintir orang saja, karena mensyaratkan penyerahan
mutlak kepada disiplin tasauf. Pada tataran ini, orang harus mengikuti Hadis
Nabi:”Matilah kamu sebelum engkau kamu Mati”. Maksudnya, orang
harus ”mematikan” diri sebelum dilahirkan kembali secara spritual. Pada tahap
ini orang harus membatasi kesenangan terhadao dunia materi dan kemudian
mengarahkan hidupnya untuk bermeditasi, berdoa, mensucikan batin, mengkaji hati
nurani, dan melakukan praktik-praktik ibadah lain seperti yang lazim dilakukan
para sufi.
Kedua, sufisme mungkin sekali dapat mempengaruhi
masyarakat modern dengan cara menyajikan Islam dalam bentuk yang lebih menarik,
sehingga orang dapat menemukan praktik-praktik sufisme yang benar. Intinya adalah
sajian Islam yang mengintegral antara aspek spritual Islam dengan sufisem
sebagai esensinya. Dengan aktifitas duniawi yang profan. Dengan begitu, sufisme
Islam membuka peluang lebih besar bagi pencarian spritual barat yang
tengah dilanda krisis makna hidup.
Ketiga, menfungsikan sufisme sebagai alat bantu untuk recollection (mengingatkan)
atau reawakening (membangunkan) orang Barat dari tidurnya.
Karena sufisme merupakan tradisi yang hidup dan kaya dengan doktrin-doktrin
metafisis, kosmologis, sebuah psikologi dan psiko-terapi religius yang hampir
tak pernah dipelajari di Barat, maka ia dapat menghidupkan kembali bergerak
aspek kehidupan rohani Barat yang selama ini tercampakkan dan terlupakan.
Pemenuhan aspek batini/spritual ini- sebagai berulang kali dinyatakan
Nasr- sangat mendesak bagi masyarakat modern. Memang secara fitrati tak mungkin
diingkari, karena manusia memiliki dimensi rohani. Oleh karena itulah Nasr
mengatakan bahwa pencarian spritual dan mistikal bersifat prennial, yakni suatu
kewajaran yang natural dalam kehidupan individu dan kolektif manusia. Ketika
masyarakat manusia berhenti mengakui kebutuhan yang natural (fitrati) ini, maka
pada saat itu pula masyarakat tersebut ambruk ditimpa beban berat strukturnya.[23]
D. KESIMPULAN
Sayyed Hossein Nasr adalah seorang intelektual dan akademisi yang luar
biasa. Sudah banyak karya-karya yang beliau ciptakan, mulai dari essay sampai
buku-buku. Beliaupun mempunyai garis besar pemikiran yang beragam,
diantaranya tentang spiritualisme islam, saat pembaratan terhadap umat islam
sudah mengalami titik puncak pada hal tertentu, beberapa dimensi kehidupannya
mengalami westernisasi. Lainnya dalam bidang metafisika yang dipengaruhi oleh
George De Santillana. Sedangkan pemikiran beliau tentang agama adalah bahwa
agama secara objektif yaitu mengandalkan adanya realitas suprim yang personal,
sedangkan agama dipandang secara subjektif ialah agama mengandalkan adanya
kemampuan manusia untuk menerima kebenaran yang diwahyukan.
Dalam pemikiran filsafat, beliau memberikan pandangan pada filsafat
perennial. Yang dimaksud Nasr dengan filsafat perennial adalah kearifan
tradisional dalam Islam. Pikiran-pikiran Nasr disekitar ini muncul sebagai
reaksi terhadap apa yang dilihatnya sebagai krisis manusia modern. Peradaban
modern khususnya di Barat dan ditumbuh kembangkan di dunia Islam menurut Nasr
telah gagal mencapai tujuannya, yakni semakin terduksinya integritas
kemanusiaan. Dengan demikian, filsafat perennial Seyyed Hossein Nasr adalah respon
yang dimunculkannya setelah melihat dengan seksama krisis manusia modern.
DAFTAR PUSTAKA
Azra,
Azumardi. “Memperkenalkan Pemikiran Hossein Nasr”, dalam
Seminar Sehari: Spiritualitas, Krisis Dunia Modern dan Agama Masa Depan.
Jakarta: Paramadina. 1993.
Bertens, K.. Sejarah
Filsafat Yunani. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. 1984. Cet. IV.
Nasr, Seyyed
Hossein. Islam dan Nestapa Manusia Modern. Bandung: Penerbit
Pustaka. 1983.
__________________. Knowledge
and the Sacred. Pakistan: Suhail Academy, Lahore. 1988.
__________________. Man
and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man. London: Mandala Books. 1976.
__________________. Spiritualitas
dan Seni dalam Islam. Bandung: Mizan. 1993.
__________________. Islam
dalam Cita dan Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid dan Hashim Wahid. Jakarta: PT
Panca Gemilang Indah. 1983.
_________________.
Islam Tradisi di Tengah Kancah Manusia Modern. Terj Lukman Hakim. Bandung: Pustaka.
1994.
_________________. Knowledge
and The Sacred. Pakistan: Suhail Academy. Lahore. 1988.
_________________. Menjelajah
Dunia Modern. Jakarta: Mizan. 1994.
_________________. Traditional
Islam in The Modern Word. London: Worts-Power Associates. 1987.
Nasution,
Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1973. Cet. I.
Nasution,
Harun. Perkembangan Modern dalam Islam. PT Midas Surya Grafindo.
1985.
Permata, Ahmad
Norma. Perennialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya. 1996
Sani, Abdul. Lintasan
Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 1998.
Soleh, A.
Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2004.
Taufik,
Akhmad. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2005.
Zar,
Sirajuddin. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta:
RajaGrafindo Persada. 2004
[2] Sirajuddin Zar. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya.
Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2004. Hal 2-3.
[4] Seyyed Hossein Nasr. Man and Nature: The Spritual Crisis
of Modern Man. London: Mandala Books. 1976. Hal. 63.
[5] Seyyed Hossein Nasr. Islam dan Nestapa Manusia Modern.
Bandung: Penerbit Pustaka. 1983. Hal. 20.
[7] Lembaga ini merupakan kelanjutan dari Institut Franco-Iranien yang
didirikan pada tahun 1946 di Teheran. Lembaga ini merupakan departemen
pengkajian tentang keiranan yang didirikan oleh departemen perhubungan dan jebudayaan
Perancis dengan tujuan awalnya memulai serangkaian publikasi teks kepada dunia
islam kontemporer dan barat.
[9] Abdul Sani. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern
dalam Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1998. Hal 281.
[10] Pemikir ini banyak memberikan kontribusi mengenai
pandangan-pandangan metafisis dalam filsafat perenial, yang berisi kritik atas
filsafat Barat modern. Dan yang paling urgen adalah dia juga seorang tokoh
utama dalam perspektif tradisional di dunia modern yang banyak berbicara
tentang makna tradis.
[11]Azumardi Azra, “Memperkenalkan Pemikiran Hossein Nasr”, dalam
Seminar Sehari: Spiritualitas, Krisis Dunia Modern dan Agama Masa Depan
(Jakarta: Paramadina, 1993), h. 35.
[12] Kata neo berarti baru diantara disionalis berarti penyokong aliran
tradisionalisme. Jadi dapat dikatakan bahwa neo-tradisionalis adalah seorang
yang menganut tradisinalisme berpikir model baru; atau pembaharu
tradisionalisme Islam. Lihat Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus
Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arkola. Hal. 517, 756.
[14] Akhmad Taufik. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme
Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005. Hal 214.
[15] Sayyed Hossein Nasr. Knowledge and the Sacred. Pakistan:
Suhail Academy, Lahore, 1988. Hal. 73.
[16] Ahmad Norma Permata. Perennialisme: Melacak Jejak Filsafat
Abadi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1996. Hal 146
[17] Seyyed Hossein Nasr. Islam dalam Cita dan Fakta. Terj.
Abdurrahman Wahid dan Hashim Wahid. Jakarta: PT Panca Gemilang Indah. 1983. Hal
10.
[19] Seyyed Hossein Nasr. Traditional Islam in The Modern Word.
London: Worts-Power Associates. 1987. Hal 4-5.
berjudul
Understanding Islam yang diterjemahkan dari bahasa aslinya berbahasa Perancis
berjudul Comprendre I’Islam oleh D.M. Matheson. Pertama kali diterbitkan oleh
Gallimard tahun 1961.
[22] Seyyed Hossein Nasr. Islam Tradisi di Tengah Kancah
Manusia Modern. Terj Lukman Hakim. Bandung: Pustaka. 1994. Hal 37.
[23] Sayyed Hossein Nasr. Menjelajah Dunia Modern. Jakarta:
Mizan. 1994. Hal 37-39.