“Apakah kalian melihat pohon-pohon ini (pohon kurma)?! Sungguh ayah
dan nenek moyang kita ratusan tahun mampu bertahan hidup hanya dengan
memakan buahnya. Kita pun demikian, kita siap kembali tinggal di
kemah-kemah seperti mereka. Kita tidak butuh (uang dari penjualan)
minyak, kalau hanya digunakan musuh kita untuk memerangi
(saudara-saudara) kita.”
Inilah potongan pidato Raja Faishal bin Abdul Aziz, Raja Arab Saudi,
ketika melihat Amerika berpihak kepada Israel yang mencaplok tanah
Palestina. Beliau menyatakan siap hidup miskin, tinggal di kemah-kemah
seperti seorang badui dan siap hanya memakan kurma saja sebagaimana
leluhurnya dahulu sebagai konsekuensi mengembargo ekspor minyak ke
Amerika.
Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya
Dia adalah Faishal bin Abdul Aziz bin Abdurrahman al-Faishal Alu
Su’ud. Ia dilahirkan di Riyadh, bulan Safar 1324 H bertepatan dengan
April 1906 M. Hari kelahirannya tepat bersamaan dengan kemenangan sang
ayah, Abdul Aziz Alu Su’ud, dalam Perang Raudhah al-Hana, salah satu
perang terpenting yang melatarbelakangi terbentuknya Kerajaan Arab Saudi
jilid III.
Faishal kecil mulai mempelajari agama Islam di lingkungan rumahnya
dengan guru-guru yang kompeten. Gurunya yang paling terkenal dan
berpengaruh terhadap keilmuannya adalah Syaikh Abdullah bin Abdul Latif
Alu asy-Syaikh, salah seorang keturunan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Faishal mampu menghafal Alquran di usia yang sangat belia, di usia yang
belum genap 13 tahun. Sebagaimana tradisi Arab dan kerajaan-kerajaan
Islam sebelumnya, putra mahkota akan dilatih menunggang kuda dan
terampil menggunakan senjata (bela diri) di masa kecil mereka, demikian
juga Faishal, ia mengalami masa kecil yang tidak jauh berbeda dari masa
kecil raja-raja Islam di abad klasik.
Di usia 13 tahun, untuk pertama kalinya Faishal turut serta berperang
bersama ayahnya. Saat itu memang bangsa Arab terpecah-pecah bukan hanya
dalam bentuk negara bahkan menjadi bersuku-suku. Tiga tahun kemudian,
di usia 16 tahun, ia dipercaya memimpin pasukan menaklukkan wilayah Hail
(kota di Barat Laut Arab Saudi sekarang), kemudian di usia 20 tahun
dipercaya sebagai pemimpin pasukan menghadapi pemberontak dari Yaman.
Setelah pemberontak Yaman ini mulai lemah dan kerajaan mampu untuk
menaklukkan Kota Shan’a, Raja Abdul Aziz menyepakati perjanjian damai
dengan orang-orang Yaman. Faishal muda yang masih bergejolak
semangatnya, merasa kecewa dan menolak keputusan sang ayah, namun dari
sanalah ia belajar tentang kebijaksanaan, kemenangan tidak hanya diukur
dengan kekuatan pedang. Dari kejadian itu juga sang ayah mengajarkan
kepadanya bagaimana mengambil tindakan dalam politik luar negeri.
Diangkat Menjadi Menteri Luar Negeri
Negara pertama yang dikunjungi Faishal bin Abdul Aziz ketika menjabat
menteri luar negeri adalah Kerajaan Inggris. Ia mengadakan dialog dan
menjalin kesepakatan-kesepakatan dengan negeri Ratu Elisabet tersebut.
Pada tahun 1939, atas perintah ayahnya, Faishal kembali mengunjungi
Inggris untuk melobi kerajaan tersebut agar tidak menjadikan wilayah
Palestina sebagai negara Yahudi. Saudi berusaha melobi Inggris dengan
tawaran kesepakatan tentang kerja sama minyak antara dua negara. Namun
superioritas Inggris kala itu tidak bisa dipengaruhi dengan kekuatan
minyak Arab Saudi.
Untuk mempromosikannya dan membuatnya semakin dikenal dunia, ayahnya,
Raja Abdul Aziz, menambah jabatannya. Selain sebagai menteri luar
negeri, ia juga dipercaya sebagai amir wilayah Hijaz, karena Hijaz yang
terdapat Mekah dan Madinah sangat erat kaitannya dengan dunia Islam
secara umum. Dan kebijakan ini semakin mengasah kemampuannya untuk
menjadi seorang pemimpin yang besar.
Menjadi Raja Arab Saudi
Pada bulan Rabiul Awal bertepatan dengan November 1953, Raja Faishal
diangkat menjadi raja Arab Saudi menggantikan saudaranya, Raja Saud bin
Abdul Aziz. Sebelumnya Raja Faishal menduduki posisi putra mahkota
(crown prince). Ia dilantik menjadi raja tanggal 2 November 1964.
Dalam pidato pertamanya sebagai raja, ia mengatakan, “Aku memohon
kepada saudara-saudaraku, untuk mengangap aku sebagai seorang saudara
dan pelayan Anda, kemuliaan hanyalah milik Allah.”
Salah satu kebijakan penting yang dibuat Raja Faishal di awal
pemerintahannya adalah ia menghapus aturan-aturan yang terkesan mebuat
jarak antara raja dan rakyatnya dan hubungan antara sesama rakyat; ia
menghapuskatn protokoler mencium tangan raja dalam acara kenegaraan,
menghapuskan perbudakan, bagi mereka yang memiliki budak agar segera
membebaskan budak-budak tersebut dan negara menanggung kompensasinya.
Negara mengeluarkan 60 juta Real untuk pembebasan budak. Tidak berhenti
sampai disitu, mantan budak ini diakui dan dimuliakan oleh negara dengan
diberi kewarganegaraan.
Kemudian Raja Faishal juga secara progresif memperbaiki perekonomian
kerajaan yang cukup terpuruk. Di awal pemerintahannya kas negara hanya
sebesar 2.000.000.000 Real kemudian di tahun 1975 menjadi 22.
810.000.000 Real. Upaya-upaya perbaikan ekonomi terus dilakukan oleh
Raja Faishal terutama membebaskan ketergantungan Real terhadap Dolar
Amerika.
Perbaikan di sektor pendidikan pun menjadi perhatian utama Raja
Faishal, karena ia menyadari pondasi utama untuk memperbaiki dan
membangun negara adalah berangkat dari kualitas pendidikan yang baik. Ia
membangun banyak sekolah di seluruh wilayah Arab Saudi, sekolah untuk
anak laki-laki dan anak perempuan, kemudian juga membangun universitas
dan tempat-tempat penelitian ilmiah.
Pembangunan-pembangunan fisik dan infrastruktur yang baik juga tidak
lepas dari perhatiannya; pembangunan jalan-jalan, jaringan listrik,
fasilitas perairan, pabrik-pabrik dan kilang minyak, penyiaran, dan
telekomunikasi.
Kebijakan Politik Luar Negeri
Banyak sekali kebijakan-kebijakan luar negeri Raja Faishal yang
berpihak kepada Islam dan dunia Arab. Ia membentuk Rabithah al-‘Alam
al-Islami. Ia juga terkenal sebagai pemimpin Arab yang sangat vokal
dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina, memfasilitasi organisasi
yang berjuang untuk kemerdekaan tersebut baik secara materi maupun
lobi-lobi politik.
Dalam sebuah pidatonya yang fenomenal, tentang pembebasan Palestina,
ia menyerukan rakyatnya untuk berjihad melawan Yahudi di tanah
Palestina.
“Saudara-saudaraku, apa yang kita tunggu? Apakah kita menunggu nurani
dunia? Dimanakah nurani dunia itu?
Sesungguhnya al-Quds yang mulia memanggil kalian dan meminta tolong
kepada kalian, wahai saudara-saudara, agar kalian menolongnya dari
musibah dan apa yang menimpanya. Apa yang membuat kita takut? Apakah
kita takut mati? Padahal adakah kematian yang mulia dan lebih utama dari
orang yang mati berjihad di jalan Allah?
Wahai saudaraku kaum muslimin, kita semua harus bangkit! demi
kebangkitan Islam, yang tidak dipengaruhi oleh kesukuan, kebangsaan, dan
juga partai. Tapi dakwah islamiyah, seruan kepada jihad fi sabilillah,
di jalan membela agama dan akidah kita, membela kesucian kita.
Dan aku berharap kepada Allah, jika menetapkan aku mati, maka agar
Dia aku syahid fi sabilillah.
Saudaraku, maafkanlah aku, agar kalian tidak menuntutku. Karena
sesungguhnya ketika aku berteriak (saat ini), masjid mulia kita sedang
dihinakan dan dilecehkan, dipraktekkan di dalamnya kekejian,
kemaksiatan, dan penyimpangan moral.
Sesungguhnya aku berharap kepada Allah dengan ikhlas, jika aku tidak
mampu melaksanakan jihad, tidak mampu membebaskan al-Quds … agar dia
tidak menghidupkan aku setelah ini..”
Raja Faishal meneruskan langkah sang ayah, Raja Abdul Aziz, menjalin
hubungan diplomatik yang erat dengan Amerika Serikat. Dua negara ini
bekerja sama dalam perdagangan senjata dan pelatihan militer sampai
akhirnya hubungan ini pun retak dikarenakan campur tangan Amerika
terhadap isu-isu sensitif di Timur Tengah.
Pada tahun 1973, Amerika menekan negara-negara Arab, khususnya Mesir,
dalam Perang Yom Kipur. Negara adidaya tersebut mengancam akan
menyerang Mesir apabila Mesir meneruskan agresinya ke Israel. Mendengar
kabar tersebut Raja Faishal pun marah dan menyatakan perang secara
ekonomi dengan Amerika Serikat dengan cara mengembargo ekspor minyak
mereka ke negara adidaya itu. Kebijakan ini benar-benar menciutkan
Amerika beserta negara-negara Pakta Perlawanan Atlantik Utara (N.A.T.O)
yang mendukungnya.
Presiden Amerika saat itu, Richard Nixon sampai turun tangan langsung
untuk meredakan kemarahan Raja Faishal. Ia datang ke Arab Saudi untuk
berdialog dengan Raja Faishal membahas embargo yang dilakukan Saudi.
Namun Nixon harus pulang dengan rasa rendah diri setelah mendengar
ucapan Raja Faishal, “Tidak akan ada perdamaian sebelum Israel
mengembalikan tanah-tanah Arab yang dirampas pada tahun 1967!”
Wafatnya
Apa yang dilakukan Raja Faishal terhadap Richard Nixon dan negaranya
ternyata berbuntut panjang, dan disinyalir menjadi penyebab kematiannya.
Pada tanggal 12 Rabiul Awal 1395 / 25 Maret 1975, keponakan Raja
Faishal yang bernama Faishal bin Mus’ad bin Abdul Aziz yang baru saja
pulang dari Amerika datang menemuinya. Di ruang tunggu, Faishal bin
Mus’ad berbicara dengan delegasi Quwait yang juga ingin bertemu Raja.
Saat Raja datang menemui mereka, Faishal bin Mus’ad mendekati Raja
dan berpura-pura hendak memeluknya, Raja Faishal yang tidak mengetahui
niat busuk keponakannya ini dengan senang hati menyambut keponakannya
dan mendekatinya untuk menciumnya sebagaimana budaya Arab Saudi pada
umumnya. Lalu Faishal bin Mus’ad mengeluarkan pistolnya, dan
menembakkannya kea rah Raja Faishal; tembakan pertama mengenai dagu Raja
Faishal dan tembakan kedua mengenai telinganya. Para pengawal Raja
menangkap Faishal bin Mus’ad dan menghentikan kebrutalannya lalu raja
segera dibawa ke rumah sakit. Namun sayang, nyawa Raja Faishal sudah
tidak tertolong lagi karena kehilangan banyak darah. Ia wafat tidak lama
setelah kejadian itu.
Dari hasil penyidikan, disinyalir bahwa Faishal bin Mus’ad memiliki
gangguan jiwa, namun ada juga yang menyatakan ia hendak membalas dendam
atas tewasnya saudaranya Khalid bin Mus’ad karena kekeliruan kebijakan
kerajaan. Faishal bin Mus’ad pun divonis hukum pancung. Eksekusi
dilaksanakan di Riyadh, 18 Juni 1975, di sore hari.
Semoga Allah membalas jasa-jasa Raja Faishal untuk Islam dan kaum
muslimin dan menempatkannya di surga yang penuh kedamaian. Aamiin.