Kamis, 02 Januari 2014

Raja Faishal bin Abdul Aziz Alu Su’ud

“Apakah kalian melihat pohon-pohon ini (pohon kurma)?! Sungguh ayah dan nenek moyang kita ratusan tahun mampu bertahan hidup hanya dengan memakan buahnya. Kita pun demikian, kita siap kembali tinggal di kemah-kemah seperti mereka. Kita tidak butuh (uang dari penjualan) minyak, kalau hanya digunakan musuh kita untuk memerangi (saudara-saudara) kita.”
Inilah potongan pidato Raja Faishal bin Abdul Aziz, Raja Arab Saudi, ketika melihat Amerika berpihak kepada Israel yang mencaplok tanah Palestina. Beliau menyatakan siap hidup miskin, tinggal di kemah-kemah seperti seorang badui dan siap hanya memakan kurma saja sebagaimana leluhurnya dahulu sebagai konsekuensi mengembargo ekspor minyak ke Amerika.

Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya
Dia adalah Faishal bin Abdul Aziz bin Abdurrahman al-Faishal Alu Su’ud. Ia dilahirkan di Riyadh, bulan Safar 1324 H bertepatan dengan April 1906 M. Hari kelahirannya tepat bersamaan dengan kemenangan sang ayah, Abdul Aziz Alu Su’ud, dalam Perang Raudhah al-Hana, salah satu perang terpenting yang melatarbelakangi terbentuknya Kerajaan Arab Saudi jilid III.
Faishal kecil mulai mempelajari agama Islam di lingkungan rumahnya dengan guru-guru yang kompeten. Gurunya yang paling terkenal dan berpengaruh terhadap keilmuannya adalah Syaikh Abdullah bin Abdul Latif Alu asy-Syaikh, salah seorang keturunan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Faishal mampu menghafal Alquran di usia yang sangat belia, di usia yang belum genap 13 tahun. Sebagaimana tradisi Arab dan kerajaan-kerajaan Islam sebelumnya, putra mahkota akan dilatih menunggang kuda dan terampil menggunakan senjata (bela diri) di masa kecil mereka, demikian juga Faishal, ia mengalami masa kecil yang tidak jauh berbeda dari masa kecil raja-raja Islam di abad klasik.
Di usia 13 tahun, untuk pertama kalinya Faishal turut serta berperang bersama ayahnya. Saat itu memang bangsa Arab terpecah-pecah bukan hanya dalam bentuk negara bahkan menjadi bersuku-suku. Tiga tahun kemudian, di usia 16 tahun, ia dipercaya memimpin pasukan menaklukkan wilayah Hail (kota di Barat Laut Arab Saudi sekarang), kemudian di usia 20 tahun dipercaya sebagai pemimpin pasukan menghadapi pemberontak dari Yaman. Setelah pemberontak Yaman ini mulai lemah dan kerajaan mampu untuk menaklukkan Kota Shan’a, Raja Abdul Aziz menyepakati perjanjian damai dengan orang-orang Yaman. Faishal muda yang masih bergejolak semangatnya, merasa kecewa dan menolak keputusan sang ayah, namun dari sanalah ia belajar tentang kebijaksanaan, kemenangan tidak hanya diukur dengan kekuatan pedang. Dari kejadian itu juga sang ayah mengajarkan kepadanya bagaimana mengambil tindakan dalam politik luar negeri.

Diangkat Menjadi Menteri Luar Negeri
Negara pertama yang dikunjungi Faishal bin Abdul Aziz ketika menjabat menteri luar negeri adalah Kerajaan Inggris. Ia mengadakan dialog dan menjalin kesepakatan-kesepakatan dengan negeri Ratu Elisabet tersebut. Pada tahun 1939, atas perintah ayahnya, Faishal kembali mengunjungi Inggris untuk melobi kerajaan tersebut agar tidak menjadikan wilayah Palestina sebagai negara Yahudi. Saudi berusaha melobi Inggris dengan tawaran kesepakatan tentang kerja sama minyak antara dua negara. Namun superioritas Inggris kala itu tidak bisa dipengaruhi dengan kekuatan minyak Arab Saudi.
Untuk mempromosikannya dan membuatnya semakin dikenal dunia, ayahnya, Raja Abdul Aziz, menambah jabatannya. Selain sebagai menteri luar negeri, ia juga dipercaya sebagai amir wilayah Hijaz, karena Hijaz yang terdapat Mekah dan Madinah sangat erat kaitannya dengan dunia Islam secara umum. Dan kebijakan ini semakin mengasah kemampuannya untuk menjadi seorang pemimpin yang besar.

Menjadi Raja Arab Saudi
Pada bulan Rabiul Awal bertepatan dengan November 1953, Raja Faishal diangkat menjadi raja Arab Saudi menggantikan saudaranya, Raja Saud bin Abdul Aziz. Sebelumnya Raja Faishal menduduki posisi putra mahkota (crown prince). Ia dilantik menjadi raja tanggal 2 November 1964.
Dalam pidato pertamanya sebagai raja, ia mengatakan, “Aku memohon kepada saudara-saudaraku, untuk mengangap aku sebagai seorang saudara dan pelayan Anda, kemuliaan hanyalah milik Allah.”
Salah satu kebijakan penting yang dibuat Raja Faishal di awal pemerintahannya adalah ia menghapus aturan-aturan yang terkesan mebuat jarak antara raja dan rakyatnya dan hubungan antara sesama rakyat; ia menghapuskatn protokoler mencium tangan raja dalam acara kenegaraan, menghapuskan perbudakan, bagi mereka yang memiliki budak agar segera membebaskan budak-budak tersebut dan negara menanggung kompensasinya. Negara mengeluarkan 60 juta Real untuk pembebasan budak. Tidak berhenti sampai disitu, mantan budak ini diakui dan dimuliakan oleh negara dengan diberi kewarganegaraan.
Kemudian Raja Faishal juga secara progresif memperbaiki perekonomian kerajaan yang cukup terpuruk. Di awal pemerintahannya kas negara hanya sebesar 2.000.000.000 Real kemudian di tahun 1975 menjadi 22. 810.000.000 Real. Upaya-upaya perbaikan ekonomi terus dilakukan oleh Raja Faishal terutama membebaskan ketergantungan Real terhadap Dolar Amerika.
Perbaikan di sektor pendidikan pun menjadi perhatian utama Raja Faishal, karena ia menyadari pondasi utama untuk memperbaiki dan membangun negara adalah berangkat dari kualitas pendidikan yang baik. Ia membangun banyak sekolah di seluruh wilayah Arab Saudi, sekolah untuk anak laki-laki dan anak perempuan, kemudian juga membangun universitas dan tempat-tempat penelitian ilmiah.
Pembangunan-pembangunan fisik dan infrastruktur yang baik juga tidak lepas dari perhatiannya; pembangunan jalan-jalan, jaringan listrik, fasilitas perairan, pabrik-pabrik dan kilang minyak, penyiaran, dan telekomunikasi.

Kebijakan Politik Luar Negeri
Banyak sekali kebijakan-kebijakan luar negeri Raja Faishal yang berpihak kepada Islam dan dunia Arab. Ia membentuk Rabithah al-‘Alam al-Islami. Ia juga terkenal sebagai pemimpin Arab yang sangat vokal dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina, memfasilitasi organisasi yang berjuang untuk kemerdekaan tersebut baik secara materi maupun lobi-lobi politik.
Dalam sebuah pidatonya yang fenomenal, tentang pembebasan Palestina, ia menyerukan rakyatnya untuk berjihad melawan Yahudi di tanah Palestina.
“Saudara-saudaraku, apa yang kita tunggu? Apakah kita menunggu nurani dunia? Dimanakah nurani dunia itu?
Sesungguhnya al-Quds yang mulia memanggil kalian dan meminta tolong kepada kalian, wahai saudara-saudara, agar kalian menolongnya dari musibah dan apa yang menimpanya. Apa yang membuat kita takut? Apakah kita takut mati? Padahal adakah kematian yang mulia dan lebih utama dari orang yang mati berjihad di jalan Allah?
Wahai saudaraku kaum muslimin, kita semua harus bangkit! demi kebangkitan Islam, yang tidak dipengaruhi oleh kesukuan, kebangsaan, dan juga partai. Tapi dakwah islamiyah, seruan kepada jihad fi sabilillah, di jalan membela agama dan akidah kita, membela kesucian kita.
Dan aku berharap kepada Allah, jika menetapkan aku mati, maka agar Dia aku syahid fi sabilillah.
Saudaraku, maafkanlah aku, agar kalian tidak menuntutku. Karena sesungguhnya ketika aku berteriak (saat ini), masjid mulia kita sedang dihinakan dan dilecehkan, dipraktekkan di dalamnya kekejian, kemaksiatan, dan penyimpangan moral.
Sesungguhnya aku berharap kepada Allah dengan ikhlas, jika aku tidak mampu melaksanakan jihad, tidak mampu membebaskan al-Quds … agar dia tidak menghidupkan aku setelah ini..”
Raja Faishal meneruskan langkah sang ayah, Raja Abdul Aziz, menjalin hubungan diplomatik yang erat dengan Amerika Serikat. Dua negara ini bekerja sama dalam perdagangan senjata dan pelatihan militer sampai akhirnya hubungan ini pun retak dikarenakan campur tangan Amerika terhadap isu-isu sensitif di Timur Tengah.
Pada tahun 1973, Amerika menekan negara-negara Arab, khususnya Mesir, dalam Perang Yom Kipur. Negara adidaya tersebut mengancam akan menyerang Mesir apabila Mesir meneruskan agresinya ke Israel. Mendengar kabar tersebut Raja Faishal pun marah dan menyatakan perang secara ekonomi dengan Amerika Serikat dengan cara mengembargo ekspor minyak mereka ke negara adidaya itu. Kebijakan ini benar-benar menciutkan Amerika beserta negara-negara Pakta Perlawanan Atlantik Utara (N.A.T.O) yang mendukungnya.
Presiden Amerika saat itu, Richard Nixon sampai turun tangan langsung untuk meredakan kemarahan Raja Faishal. Ia datang ke Arab Saudi untuk berdialog dengan Raja Faishal membahas embargo yang dilakukan Saudi. Namun Nixon harus pulang dengan rasa rendah diri setelah mendengar ucapan Raja Faishal, “Tidak akan ada perdamaian sebelum Israel mengembalikan tanah-tanah Arab yang dirampas pada tahun 1967!”

Wafatnya
Apa yang dilakukan Raja Faishal terhadap Richard Nixon dan negaranya ternyata berbuntut panjang, dan disinyalir menjadi penyebab kematiannya. Pada tanggal 12 Rabiul Awal 1395 /  25 Maret 1975, keponakan Raja Faishal yang bernama Faishal bin Mus’ad bin Abdul Aziz yang baru saja pulang dari Amerika datang menemuinya. Di ruang tunggu, Faishal bin Mus’ad berbicara dengan delegasi Quwait yang juga ingin bertemu Raja.
Saat Raja datang menemui mereka, Faishal bin Mus’ad mendekati Raja dan berpura-pura hendak memeluknya, Raja Faishal yang tidak mengetahui niat busuk keponakannya ini dengan senang hati menyambut keponakannya dan mendekatinya untuk menciumnya sebagaimana budaya Arab Saudi pada umumnya. Lalu Faishal bin Mus’ad mengeluarkan pistolnya, dan menembakkannya kea rah Raja Faishal; tembakan pertama mengenai dagu Raja Faishal dan tembakan kedua mengenai telinganya. Para pengawal Raja menangkap Faishal bin Mus’ad dan menghentikan kebrutalannya lalu raja segera dibawa ke rumah sakit. Namun sayang, nyawa Raja Faishal sudah tidak tertolong lagi karena kehilangan banyak darah. Ia wafat tidak lama setelah kejadian itu.
Dari hasil penyidikan, disinyalir bahwa Faishal bin Mus’ad memiliki gangguan jiwa, namun ada juga yang menyatakan ia hendak membalas dendam atas tewasnya saudaranya Khalid bin Mus’ad karena kekeliruan kebijakan kerajaan. Faishal bin Mus’ad pun divonis hukum pancung. Eksekusi dilaksanakan di Riyadh, 18 Juni 1975, di sore hari.
Semoga Allah membalas jasa-jasa Raja Faishal untuk Islam dan kaum muslimin dan menempatkannya di surga yang penuh kedamaian. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment please...

Mereka yang Jadi Saksi Awal Mula Lantunan Adzan

Ketika itu, saat sudah masuk waktunya, umat tanpa dipanggil sudah berkumpul untuk menunaikan sholat. Namun ketika sudah hijrah ke M...