Di antara kebaikan-kebaikan Sulaimana bin Abdul Malik adalah bahwa dia berkenan menerima nasihat dari seorang ulama ahli fikih, Raja’ bin Haiwah al-Kindi,
yang mengusulkan ketika Sulaiman dalam keadaan sakit dan akhirnya
wafat, agar mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai penerusnya. Akhirnya
Sulaiman menetapkan surat wasiat yang tidak memberi celah bagi setan
sedikit pun (Ashr ad-Daulatain al-Umawiyah wa al-Abbasiyah, Hal:
37). Ibnu Sirin mengatakan, “Semoga Allah merahmati Sulaiman, dia
mengawali kekhalifahannya dengan menghidupkan shalat dan mengakhirinya
dengan menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penerusnya.”
Khalifah Sulaiman wafat tahun 99H, Umar bin Abdul Aziz menshalatkan
jenazahnya, tertulis dalam stempelnya, “Aku beriman kepada Allah dengan
ikhlas.” (Siyar A’lam Nubala, 5: 11-12).
Ada beberapa riwayat tentang pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai
khalifah. Di antara riwayat-riwayat tersebut adalah yang dikisahkan
oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat dari Suhail bin Abu Suhail,
dia berkata, Aku mendengar Raja’ bin Haiwah berkata, “Di hari Jumat,
Sulaiman bin Abdul Malik memakai baju berwarna hijau dari wol, dia
bercermin dan berkata, ‘Aku adalah raja muda’. Lalu dia keluar untuk
menunaikan shalat Jumat bersama rakyat, dia langsung sakit begitu
pulang, manakala sakitnya semakin keras dia menulis wasiat untuk anaknya
Ayyub. Ayyub adalah anak yang belum dewasa, aku berkata kepadanya, ‘Apa
yang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin? Di antara kebaikan seseorang
yang mengalir ke kuburnya adalah bahwa dia mengangkat orang shaleh
sesudahnya’. Sulaiman berkata, ‘Surat wasiat ini, aku masih
beristikharah kepada Allah, masih mempertimbangkan, dan belum memutuskan
dengan pasti.’
Satu atau dua hari setelah itu Sulaiman membakar surat tersebut,
kemudian dia mengundangku. Dia bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu tentang
Dawud bin Sulaiman?’ Aku menjawab, ‘Dia berada di Konstantinopel, Anda
sendiri tidak tahu dia masih hidup atau telah mati’. Sulaiman bertanya,
‘Siapa menurutmu wahai Raja’?’ Aku menjawab, ‘Terserah Anda wahai Amirul
Mukminin’. Aku berkata demikian karena aku sendiri masih
mempertimbangkan. Sulaiman berkata, ‘Bagaimana menurutmu Umar bin Abdul
Aziz?’ Aku menjawab, ‘Demi Allah, yang aku tahu bahwa dia adalah
laki-laki yang utama, muslim pilihan’. Sulaiman berkata, ‘Benar, dialah
orangnya, tetapi jika aku mengangkatnya dan tidak mengangkat seorang pun
dari anak-anak Abdul Malik, maka hal itu bisa memicu perpecahan, mereka
tidak akan membiarkannya memimpin selama-lamanya, kecuali jika aku
menetapkan seseorang dari mereka setelah Umar. Aku akan mengangkat Yazid
bin Abdul Malik sesudah Umar. –Pada saat itu Yazid sedang tidak berada
di tempat, dia menjadi Amirul Haj- Hal itu akan membuat anak-anak Abdul
Malik tenang dan menerima’. Aku berkata, ‘Terserah Anda’.
Sulaiman bin Abdul Malik menulis surat tangannya, ‘Dengan nama Allah
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah surat wasiat Sulaiman
bin Abdul Malik, Amirul Mukminin, untuk Umar bin Abdul Aziz.
Sesungguhnya aku menyerahkan khilafah kepadanya sesudahku dan sesudahnya
kepada Yazid bin Abdul Malik, dengarkanlah dan taatilah, bertakwalah
kepada Allah, janganlah berselisih, karena musuh-musuh kalian akan
berharap mengalahkan kalian’. Lalu Sulaiman menstempel surat tersebut.
Sulaiman kemudian meminta Ka’ab bin Hamid, kepala pasukan pengawal
khalifah, agar mengumpulkan keluarganya. Ka’ab melaksanakan dan
mengumpulkan mereka. Setelah mereka berkumpul, Sulaiman berkata kepada
Raja’, bawalah surat wasiatku kepada mereka, katakan kepada mereka bahwa
itulah surat wasiatku, minta mereka untuk membaiat orang yang aku
tunjuk’. Raja’ melaksanakannya, ketika Raja menyampaikan hal itu, mereka
berkata, ‘Kami mendengarkan dan menaati siapa yang tercantum di
dalamnya’. Mereka berkata, ‘Bolehkah kami menemui Amirul Mukminin untuk
mengucapkan salam?’ Raja’ menjawab, ‘Silahkan’. Mereka pun masuk,
Sulaiman berkata kepada mereka, ‘Itu adalah wasiatku, -Sulaiman menunjuk
kepada surat yang ada di tangan Raja’ dan mereka melihat surat
tersebut- Itu adalah pesan terakhirku, dengarkanlah, taatilah dan
baiatlah orang yang aku sebutkan namanya dalam surat wasiat tersebut’.
Raja’ berkata, ‘Maka mereka membaiatnya satu per satu’. Kemudian Raja’
membawa surat yang berstempel itu keluar’.”
Raja’ berkata, “Manakala mereka telah meninggalkan tempat itu, Umar
datang kepadaku, dia berkata, ‘Wahai Abu al-Miqdam, sesungguhnya
Sulaiman sangat menghormati dan menyayangiku, dia bersikap lembut dan
baik, aku khawatir dia menyerahkan sebagian perkara ini kepadaku, maka
aku meminta kepadamu dengan nama Allah kemudian dengan kehormatan dan
kasih sayangku, agar engkau memberitahuku jika perkaranya demikian,
sehingga aku bisa mengundurkan diri saat ini sebelum datangnya suatu
keadaan dimana aku tidak mampu merubahnya lagi’. Raja’ menjawab, ‘Tidak
demi Allah, aku tidak akan mengabarkan satu huruf pun kepadamu’. Maka
Umar pergi dengan kesal.”
Raja’ berkata, “Maka Hisyam bin Abdul Malik menemuiku dan berkata,
‘Sesungguhnya antara diriku dengan dirimu terdapat hubungan baik dan
kasih sayang lama, aku pun tahu berterima kasih, katakan kepadaku apakah
aku orang yang disebut dalam surat tersebut? Jika aku adalah orangnya,
maka aku tahu. Jika orang lain, maka aku akan berbicara, orang sepertiku
tidak patut dipandang sebelah mata, perkara seperti ini tidak pantas
dijauhkan dari orang sepertiku, katakan kepadaku. Aku berjanji dengan
nama Allah kepadamu tidak akan menyebutkan namamu selama-lamanya’.”
Raja’ berkata, “Aku menolak permintaan Hisyam, aku berkata, ‘Tidak
demi Allah, aku tidak akan membuka satu huruf pun kepadamu dari apa yang
telah dirahasiakan Sulaiman kepadaku’. Hisyam pun pergi sambil
menepukkan satu tangannya ke tangan yang lain, dia berkata, ‘Kepada
siapa perkara ini diserahkan jika tidak kepadaku, apakah kami ini
dianggap bukan anak Abdul Malik? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah
putra Bani Abdul Malik yang sebenarnya’.”
Raja’ berkata, “Aku menemui Sulaiman bin Abdul Malik, ternyata dia
sudah wafat, namun aku masih mendapati saat-saat sakratul mautnya,
setiap kali dia menghadapinya, maka aku menghadapkannya ke arah kiblat,
Sulaiman mengucapkan dengan tersendat-sendat, ‘Wahai Raja’, saatnya
belum tiba sekarang’. Sampai aku mengulangnya dua kali, pada kali ketiga
Sulaiman berkata, ‘Sekarang wahai Raja’, jika kamu ingin sesuatu, maka
aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dan bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya’.”
Raja’ berkata, “Maka aku menghadapkannya ke arah kiblat, dan Sulaiman
wafat. Aku memejamkan kedua matanya, aku menyelimutinya dengan sebuah
kain hijau, aku menutup pintu, istrinya mengutus seorang utusan untuk
meminta izin melihat keadaannya, aku berkata kepadanya, ‘Dia telah tidur
dan berselimut’. Utusan itu telah melihat Sulaiman yang telah
berselimut kain, dia pulang menyampaikannya kepada istrinya, istrinya
tenang karena dia mengira bahwa Sulaiman tidur.”
Raja’ berkata, “Aku meminta seseorang yang kupercayai untuk berdiri
di pintu, aku berpesan kepadanya untuk tidak beranjak sampai aku sendiri
yang datang kepadanya dan tidak memperkenankan siapa pun untuk masuk
menemui khalifah. Lalu aku memanggil Ka’ab bin Hamid al-Ansi, aku
memintanya untuk mengumpulkan keluarga Amirul Mukminin, mereka pun
berkumpul di masjid Dabiq, aku berkata kepada mereka, ‘Berbaiatlah
kalian’. Mereka menjawab, ‘Kami telah berbaiat, sekarang berbaiat lagi?’
Aku berkata, ‘Ini adalah pesan Amirul Mukminin, berbaiatlah untuk
mematuhi perintahnya, mengakui siapa yang disebutkan namanya dalam surat
wasiat yang distempel ini’. Mereka pun satu per satu membaiat untuk
kedua kalinya.”
Raja’ berkata, “Ketika mereka bersedia membaiat untuk kedua kalinya,
maka aku yakin telah menata urusan ini sebaik mungkin, aku mengucapkan,
‘Jenguklah Khalifah Sulaiman, karena beliau telah wafat’. Mereka
berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Kemudian aku
membacakan isi surat wasiat Sulaiman, ketika aku menyebut nama Umar bin
Abdul Aziz, Hisyam berkata, ‘Kami tidak akan membaiatnya
selama-lamanya’. Raja’ mengatakan, ‘Demi Allah, aku akan memenggal
lehermu, berdiri dan berbaiatlah’. Lalu Hisyam berdiri dengan “menyeret”
kedua kakinya.
Raja’ melanjutkan, “Aku memegang pundak Umar bin Abdul Aziz, aku
mendudukkannya di atas mimbar, sementara Umar bin Abdul Aziz
mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Ia menyesali
apa yang didapatkannya. Sementara Hisyam juga mengucapkan ucapan yang
sama karena bukan dia yang ditunjuk oleh Sulaiman bin Abdul Malik
sebagai penggantinya. Hisyam bertemu Umar bin Abdul Aziz, dia berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Karena kekhalifahan telah berpindah tangan dari anak-anak Abdul Malik kepada Umar bin Abdul Aziz. Maka Umar menjawab, ‘Ya, Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun’. Karena perkara itu sampai ke tangannya padahal dia tidak menyukainya.” (Tarikh ath-Thabari, 7: 445).
Abu al-Hasan an-Nadawi berkata tentang sikap Raja’, “Raja’ telah
melakukan sebuah jasa besar yang tidak akan dilupakan oleh Islam. Aku
tidak mengetahui seorang laki-laki dari kalangan sahabat raja dan
orang-orangnya, yang bisa memberi manfaat (dengan kedekatan dan
kedudukannya) seperti manfaat yang diberikan oleh Raja’. (Rijal al-Fikr wa ad-Da’wah, 1: 40).
Umar naik mimbar, dan dalam tatap muka pertama dengan rakyat, dia
mengatakan, “Jamaah sekalian, sesungguhnya aku telah diuji dengan
perkara ini, tanpa dimintai pendapat, tidak pernah ditanya dan tidak
pula ada musyawarah dengan kaum muslimin. Aku telah membatalkan baiat
untukku, sekarang pilihlah seseorang untuk memimpin kalian.” Orang-orang
serentak menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kami telah memilihmu, kami
menerimamu, silahkan pimpin kami dengan kebaikan dan keberkahan.”
Di saat itulah Umar merasa bahwa dirinya tidak mungkin menghindar
dari tanggung jawa khalifah, maka Umar menambahkan kata-katanya untuk
menjelaskan kebijakan-kebijakannya dalam menata umat Islam (Umar bin Abdul Aziz wa Siyasatuhu fi Radd al-Mazhalim, Hal: 102), “Amma ba’du,
tidak ada lagi nabi setelah nabi kalian, tidak ada kitab selain kitab
yang diturunkan kepadanya. Ketahuilah bahwa apa yang Allah halalkan
adalah halal sampai hari kiamat. Aku bukanlah seorang hakim, aku
hanyalah pelaksana, dan aku bukanlah pelaku bid’ah melainkan aku adalah
pengikut sunnah. Tidak ada hak bagi siapapun untuk ditaati dalam
kemaksiatan. Ketahuilah! Aku bukanlah orang yang terbaik di antara
kalian, aku hanyalah seorang laki-laki bagian dari kalian, hanya saja
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberiku beban yang lebih berat dibanding kalian.
Kaum muslimin, siapa yang mendekat kepadaku, hendaknya dia mendekat
dengan lima perkara, jika tidak, maka janganlah mendekat: Pertama,
mengadukan hajat orang yang tidak kuasa untuk mengadukannya, kedua,
membantuku dalam kebaikan sebatas kemampuannya, ketiga, menunjukkan
jalan kebaikan kepadaku sebagaimana aku dituntut untuk meniti jalan
tersebut, keempat, tidak melakukan ghibah terhadap rakyat, dan kelima, tidak menyangkalku dalam urusan yang bukan urusannya.
Aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertakwa kepada Allah, karena
takwa kepada Allah memberikan akibat yang baik dalam setiap hal, dan
tidak ada kebaikan apabila tidak ada takwa. Beramallah untuk akhirat
kalian, karena barangsiapa beramal untuk akhirat, niscaya Allah akan
mencukupkan dunianya. Perbaikilah (jaga) rahasia (yang ada pada diri
kalian), semoga Allah memperbaiki apa yang terlihat dari (amal
perbuatan) kalian. Perbanyaklah mengingat kematian, bersiaplah dengan
baik sebelum kematian itu menghampiri kalian, karena kematian adalah
penghancur kenikmatan. Sesungguhnya umat ini tidak berselisih tentang
Tuhannya, tidak tentang Nabinya, tidak tentang Kitabnya, akan tetapi
umat ini berselisih karena dinar dan dirham. Sesungguhnya aku, demi
Allah, tidak akan memberikan yang batil kepada seseorang dan tidak akan
menghalangi hak seseorang.”
Kemudian Umar meninggikan suaranya agar orang-orang mendengar,
“Jamaah sekalian, barangsiapa yang menaati Allah, maka dia wajib ditaati
dan barangsiapa mendurhakai Allah, maka tidak wajib taat kepadanya
dalam permasalahan tersebut. Taatilah aku selama aku (memerintahkan
untuk) menaati Allah, namun jika (perintahku) mendurhakai-Nya, maka
kalian tidak boleh taat dalam hal itu…” kemudian Umar turun dari mimbar.
Begitulah prosesi pengangkatan Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah
umat Islam, salah seorang khalifah Daulah Umawiyah. Ia diangkat pada
hari Jumat, 11 Shafar 99 H (al-Bidayah wa an-Nihayah, 12: 667).
Sumber: Perjalanan Hidup Khalifah Yang Agung, Umar bin Abdul Aziz